Pada jaman PL, orang-orang kaya dan para hakim menggunakan keledai sebagai tunggangan dalam perjalanan. Tokoh-tokoh Alkitab seperti Abraham dan Ayub memiliki banyak keledai. Setelah jaman semakin maju dan orang mulai menunggang unta dan kuda-kuda yang bagus, keledai hanya dipakai oleh orang miskin yang tidak sanggup membeli unta dan kuda.
Keledai adalah binatang yang lembut sifatnya, jinak, sabar dan tidak pernah kelihatan marah meskipun membawa
beban yang begitu berat. Ia kelihatan
bodoh, tetapi sangat mengasihi tuannya.
Terkadang binatang ini datang menemui tuannya meskipun tuannya berada di tengah kerumunan orang banyak. Yes 1:3 membandingkan sifat keledai yang lebih tahu berterima kasih daripada umat Israel.
"Lembu mengenal pemiliknya, tetapi Israel tidak; keledai mengenal palungan yang disediakan tuannya, tetapi umat-Ku tidak memahaminya."" (Yesaya 1:3).
Di dalam Alkitab, ada dua kisah yang cukup kita kenal yang melibatkan keledai, yaitu peristiwa keledai Bileam yang dapat berbicara dan Yesus yang menunggang keledai masuk Yerusalem. Di dalam kisah Bileam kita melihat kesetiaan seekor keledai terhadap tuannya ( Bil 22:21-33 ), ia membela tuannya dan tidak ingin tuannya mendapat celaka.
Yesus masuk Yerusalem dengan menunggang keledai, sesuai dengan nubuat nabi Zakharia ( Za 9:9 ).
Biasanya jika seorang raja bepergian dalam situasi perang, maka ia akan menunggang kuda, tetapi jika situasi damai maka ia akan menunggang keledai. Keledai merupakan simbol kelembutan dan kehambaan ( servanthood ), dan ini menunjuk pada maksud kedatangan Yesus ke dalam dunia, yaitu untuk menjadi hamba.
Sifat-sifat keledai sangat tepat diangkat menjadi contoh bagi semua orang yang mau menjadi hamba bagi Yesus. Diperlukan kesetiaan untuk selalu mengabdi kepada Tuan kita, kesabaran untuk memikul beban yang berat jika memang Tuan kita menghendaki hal itu, dan kerendahan hati sebagai hamba yang mau melayani.
Seseorang tidak dapat menjadi hamba yang baik jika ia masih mempertahankan keakuan dan sikap arogan yang ada di dalam dirinya. Seorang hamba harus merelakan dirinya menjadi "benih yang hancur" jika ingin ada tunas-tunas baru yang muncul dan bertumbuh.
Merelakan diri menjadi benih yang hancur berarti hidup dalam penyangkalan diri yang akan mempermudah kita menjadi hamba yang berkenan bagi Yesus. Terkadang ketika seseorang belajar menjadi hamba yang melayani, ia akan dianggap bodoh oleh dunia, tetapi istimewa di mata Tuan yang dilayaninya.
Di batu nisan John Newton tertulis "A servant of slaves" atau "Hamba para budak", sedangkan Gregory I menyebut dirinya "The servant of the servants of God" atau "Hamba dari para hamba Allah".
Sudahkah kita menunjukkan sifat-sifat sebagai hamba-hamba Allah yang setia, sabar dan rendah hati?
Doa : Tuhan Yesus, beriku hati seorang hamba yang mau melayani dan tidak meminta perlakuan yang istimewa dari sesamaku. Dalam nama Tuhan Yesus aku
mohon. Amin.
Kata-kata bijak : Hidup dalam penyangkalan diri akan memampukan seseorang menjadi hamba yang sejati.
Sumber : Renungan Manna Sorgawi.
But they that wait upon the Lord shall renew their strength; they shall mount up with wings as eagles; they shall run, and not be weary; and they shall walk, and not faint. (Isaiah 40:31)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar