Minggu, 05 Juni 2011

Beban

Matius 11:28
Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.

Pasukan Alexander Agung (356 -323 SM), raja Macedonia, sedang bergerak maju menuju Persia - menyerang Raja Darius.  Dalam suatu keadaan yang gawat, pasukan Alexander Agung tampaknya akan kalah. Para pasukan telah menjarah begitu banyak barang pada pertempuran sebelumnya dan ini mengakibatkan langkah mereka terseok-seok,  karena beban jarahan sehingga kehilangan efektivitas dalam berperang. Alexander memerintahkan agar semua barang rampasan itu  ditumpuk, lalu dibakar.

Para prajurit mulanya mengeluh, tetapi mereka segera menyadari akan  kebijakan komando tersebut. Ditulisnya dalam buku biografi, "Seolah-olah mereka telah diberi sayap dan mereka berjalan dengan  ringan kembali." Kemenangan pun diraih.

Selama manusia hidup di dunia  - yang namanya beban - itu pasti akan selalu ada. Manusia memiliki beban mental, beban moral dan beban batin. Beban-beban kehidupan ini membuat manusia berjalan tertatih-tatih,  sulit bahkan kehilangan arah kehidupan dan hidup tidak fokus serta  terpecah-pecah. Memang beban hidup tidak mengenal umur. Anak sekolah dibebani dengan tugas sekolah yang semakin menumpuk, orang muda berjalan   pontang-panting  karena memikirkan masa depannya dan orang tua merasa berbeban berat karena tingkah laku anak-anaknya.

Pepatah Latin yang berbunyi, "Abiece onus, et cape novam vitam" yang berarti buanglah bebanmu dan gapailah hidup baru - kayaknya - hanya sebagai kata-kata  emas yang sulit untuk dilaksanakan.

Dalam dunia pewayangan kita mengenal tokoh yang bernama Dristarasta. Ia adalah raja yang memiliki 100 anak, yang tergabung dalam Kurawa (keturunan dinasti atau wangsa Kuru). Putra Mahkota yang bernama Doryudana sebagai anak yang berambisi menjadi Raja Hastinapura. Untuk mencapai tujuannya, Putra Mahkota menghalalkan segala  cara. Entah benar atau tidak, "Jurus dan strategi" Doryudana itu - secara kebetulan - juga diajarkan oleh Niccolo Machiavelli (1469 - 1527), "The end justifies the means," yang berarti tujuan menghalalkan cara,  ternyata telah terjadi ratusan tahun yang lalu di negeri India.

Sang Raja yang buta itu berbeban berat, karena sepak terjang putranya, ditambah lagi setiap hari, dirinya harus menghadapi  para dewan kerajaan - untuk meeting atau sidang -  seperti: Bhisma, Drona, Krepa dan Widura yang berhati mulia. Beban yang ditanggung sang Raja semakin memuncak, tatkala anaknya sendiri mangkat dalam perang (bdk. Lakon wayang Doryudana gugur). Ternyata kemenangan dan kejayaan serta kemuliaan   diraih oleh Pandawa dan yang naik tahta adalah Yudhistira, kemenakannya sendiri.

Dristarasta  hanya bisa meratap dan menyesali dengan apa yang telah dibuat selama menduduki singgasana. Beban moral sebagai orang tua teramat berat melihat anak-anaknya sendiri mati dalam perang di padang Kurusetra,  yang disebut dengan Barathayudha (Yudha, artinya Perang).

Di kalangan orang tua yang sering terjadi ialah bagaimana kekuatiran demi kekuatiran dialaminya. Ketika anak masih remaja, jika anak belum mempunyai pacar, orang tua kuatir, "Apa anakku tidak laku?" Lalu ketika masa pacaran tiba, anaknya memiliki kekasih yang beda iman, orang tua menjadi sedih. Selanjutnya ternyata anaknya sudah hamil sebelum ada akad nikah dan seterusnya dan seterusnya.

Beban orang tua baru akan berakhir, jika liang lahat menguburnya. Pepatah Jawa yang berbunyi, "Mikul dhuwur, mendhem jero" yang artinya menjunjung tinggi kebaikan orang tua dan mengubur dalam-dalam kekurangannya, sering kita dengar ketika orang tua menasihati anak-anaknya. Kalau sikap seorang anak demikian, betapa bahagia hati orang tua. Paling tidak setengah dari bebannya menjadi sedikit ringan.

Sekarang marilah kita melihat "beban" yang dialami manusia dewasa, yang sudah berani memilih. Manusia pada waktu-waktu tertentu harus memilih. Keputusan untuk memilih berarti berani meninggalkan yang lain dan ini kadang menyakitkan. Orang yang sudah menginjak usia dewasa hidup dengan  penuh kebimbangan dan inilah beban mereka. Pada umur-umur tertentu, seorang yang sudah dewasa harus bisa mencukupi dirinya sendiri dan tentunya harus mulai berpikir bagaimana membangun rumah tangga yang - seringkali - penuh dengan ketidakpastian.

Ada pasangan suami istri muda  yang senantiasa tertekan, karena  setiap kali berkunjung ke mertuanya, mereka mendapat sambutan yang membebani, "Kapan ya, saya bisa menimang cucuku dari kalian?" Hal ini semakin membebani pikirannya, karena sudah menikah tujuh tahun dan sang wanita  belum juga berbadan  dua. Akhirnya, orang menjadi pesimis dan apatis dalam hidup ini.  Hari besar, seperti: Natal dan Tahun Baru yang seharusnya sebagai hari yang penuh kegembiraan, kini menjadi hari yang suram, karena harus berjumpa dengan orang-orang yang akan bertanya, "Kapan saya bisa menimang cucuku?"

Beban yang dialami oleh kaum remaja - muda - dewasa, bisa kita dengar  "nasihat" dari Utha Likumahua, "TUHAN pun tahu hidup ini sangat  berat. Tapi takdir pun tak mungkin slalu sama. Coba-cobalah tinggalkan sejenak anganmu. Esok khan masih ada!" Kesedihan yang berkepanjangan malah membuat diri kaum muda semakin terpuruk. Jalan penuh harapan masih terbuka lebar.

Last  but not  least, bagaimana kita melihat anak-anak yang tentunya memiliki "beban" tersendiri. Tak pelak lagi  bahwa anak pada usia dini juga mengalami bahwa hidup itu pun berat.

Di Jepang dan Korea, "anak-anak usia dini sudah dilatih untuk stress," seperti yang ditulis oleh Bondan Winarno.  Mereka pada usia Sekolah Dasar sudah harus mengerjakan banyak hal. Bahkan ketika sekolah pun, di ransel-nya terdapat makanan untuk makan siang, karena mereka itu bersekolah sampai sore hari. Tidak ada waktu untuk bersantai. Mereka mengejar prestasi, karena ada mitos bahwa orang yang tidak beprestasi tidak akan mendapatkan tempat bagi negara maju. Tidak mengherankan jika statistik terbanyak orang yang bunuh diri adalah di negara Jepang.

Adalah pemandangan yang lumrah  bila anak usia muda terjun bebas dari hotel tingkat belasan hanya karena -  gara-gara - tidak diterima di Perguruan Tinggi yang  berkualitas. Nilai kemajuan sebuah negara harus dibayar mahal, yakni beratnya beban yang dipikul oleh anak-anak pada usia dini. Barangkali hal yang sama juga dialami di  negara kita, Indonesia. Di kota-kota besar, orang tua amat mencintai anak-anaknya, sehingga hampir setiap saat diisi dengan kegiatan belajar atau kursus.

Selain kursus tambahan pelajaran sekolah, anak-anak juga dijejali dengan ketrampilan lain, seperti: kursus renang, les  piano dan latihan olah vokal. Kita bisa membayangkan, betapa  berat beban anak-anak zaman sekarang. Bisa jadi, apa yang dikerjakan oleh anak-anak itu tidak disukai oleh mereka, melainkan karena ambisi dari orang tua mereka sendiri.

Novel yang berjudul, "The Little Prince," karangan Antoine de Saint-Exupery memberikan ilustrasi bagaimana masa kanak-kanak harus dinikmati sebagai anak-anak. Anak-anak harus hidup penuh kedamaian dan bebas untuk mengungkapkan apa yang dirasakan. Tetapi kebanyakan orang tua "merampas" masa kanak-kanak dengan memberi beban yang - tentunya - tidak ringan.

Merenungkan makna "beban" dalam hidup ini, malah menjadi beban dalam pikiranku. Untuk menyegarkan pikiran (refresh), saya memutuskan untuk refreshing dengan mengadakan "sight seeing"  (jalan-jalan di tempat yang menarik) di pinggiran kota. Di sebuah rumah yang sederhana, duduklah seorang bapak yang nampak tua dan lelah karena beban hidupnya. Dari bibirnya terdengar doa lirih, "TUHAN, jangan biarkan beban-beban itu menyingkir dari pundakku, tetapi kuatkanlah  bahuku, lenganku, pundakku supaya aku  mampu membawa beban yang kupikul dalam hidup harianku."

Saya jadi malu dengan bapak yang sederhana itu, karena setiap kali berhadapan dengan beban kehidupan, seperti: dimarahi pimpinan, pekerjaan menumpuk, bermasalah dengan rekan kerja, dalam benakku muncul kata-kata, "Kayaknya saya tidak mampu deh menanggung beban kehidupan yang kelewat berat ini!!!"

♡ ◦°˚G☺d♡BlĪµ§§ U◦°˚♡

"If ever there is tomorrow when we're not together.. there is something you must always remember. you are braver than you believe, stronger than you seem, and smarter than you think. but the most important thing is, even if we're apart.. i'll always be with you." - Winnie the Pooh-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar