Ketika orang itu mengatakan bahwa rekan saya itu sama sekali tidak punya iman, hati saya tercekat dan merasa sedikit meradang. Apa-apaan ini? Memangnya ia merasa dirinya TUHAN sehingga mampu mengetahui isi hati seseorang yang paling dalam? Apalagi ini soal iman orang !
Dengan setengah kesal saya bertanya kepadanya [pada kesempatan lain], apa yang ia maksudkan dengan kata-katanya yang super sadis dan bersifat menghakimi itu? "Emangnya kamu TUHAN, atau minimal apakah kamu itu semacam paranormal sehingga bisa membaca yang tidak kasat mata?"
Iapun menjawab "Bukan begitu. Saya hanya pakai logika saja. Dan saya selalu berpegang pada prinsip dan aturan hukum." "Bukan begitu bagaimana?", sergah saya dengan sedikit ketus. "Kamu jelas-jelas mengatakan, bahkan menuduh, bahwa ia tidak punya iman. Saya mendengar sendiri kata-kata kamu itu dengan telinga saya. Bukan dari mulut orang lain."
Kemudian ia menjelaskan begini. "Coba kamu simak dan perhatikan kata-kata orang itu. Setiap kali kamu berkata sesuatu, ia selalu menangkis dengan serentetan kalimat yang penyangkalan. Kamu ngomong satu kalimat, dia menyahut dengan sepuluh kalimat."
"Memangnya kenapa kalau ia menyahut dengan sepuluh kalimat. Itu hanya menunjukkan bahwa ia berpikiran kreatif. Bukan berarti ia serta merta adalah orang yang tidak beriman. Apa hubungannya antara banyak berbicara dengan punya iman atau tidaknya?"
Kemudian ia menjelaskan masalahnya panjang lebar dan intinya begini. "Orang yang selalu punya pendapat sendiri tentang setiap hal dan ngotot dengan pendapatnya cenderung untuk tidak bisa menghargai pendapat orang lain. Apapun yang orang katakan ia akan menyangkal dan menyodorkan pendapatnya sendiri. Ia tidak mau mendengar apalagi menuruti kata orang."
Saya balik bertanya. "Apa salahnya orang punya pendapat sendiri? Apa salahnya mempunyai pendirian yang kuat? Tentu saja orang akan cenderung berpendapat bahwa opininya sendiri yang benar. Kalau pendapat sendiri saja sudah diyakini tidak benar, lalu untuk apa dipertahankan? Masakan selalu harus menganggap pendapat orang lain yang benar? Lalu apa gunanya punya pendapat sendiri kalau orang selalu harus mengalah?"
"Lalu apa hubungannya dengan soal punya atau tidak punya iman?" tanya saya. Jawabnya: "Orang yang selalu mengandalkan pendapatnya sendiri dan tidak pernah mau kalah [bukan mengalah] dalam berdiskusi artinya ia hanya mengandalkan pendapatnya sendiri. Dirinya selalu benar dan seluruh isi dunia sisanya selalu keliru. Bila demikian halnya, apakah ia juga mau mendengarkan nasihat para alim ulama atau rohaniwan? Bukankah ia juga akan mendebatnya dan ngotot untuk mempertahankan opininya sendiri? Intinya, ia tidak bisa dinasihati. Ia tidak mau mendengar nasihat orang lain."
"Ia hanya mengandalkan akalnya sendiri. Ia tidak membutuhkan pendapat dan nasihat orang lain. Kalau pendeta, ulama atau pastor menasihatinya supaya banyak berdoa misalnya, kira-kira apa yang akan dikatakannya? "Buat apa berdoa? Kita harus pede dan mengandalkan usaha dan ikhtiar kita sendiri. Jangan sedikit-sedikit minta sama TUHAN. Bukankah itu ciri orang yang malas yang hanya mau menadah tangan saja?"
Kalau dikatakan lagi, bukankah ada prinsip "ora et labora" yang artinya orang harus bekerja tetapi juga berdoa? Apa kira-kira jawabnya? "Ah itu slogan orang yang malas berusaha. Kalau orang gigih berusaha pasti akhirnya akan berhasil juga. Kegagalan adalah sukses yang tertunda. Kalau sudah sukses lalu buat apa berdoa lagi, bikin capek TUHAN mendengarnya!"
Perdebatan dengan orang model begini bisa berjam-jam tanpa titik temu. Setiap argumen pasti dibalas dengan kontra argumen, baik yang nalar maupun yang kurang masuk akal dan penuh silogisma.
Kesimpulannya, orang yang selalu mau menang sendiri cenderung hanya mengandalkan akalnya sendiri. Ia tidak butuh pendapat apalagi nasihat orang lain. Baginya firman TUHAN juga tidak perlu didengarkan. Banyak FIRMAN TUHAN baginya hanya merujuk kepada hukum dan menunjuk kepada kesalahan atau dosa. Sama sekali tidak relevan untuk cari duit dan menjadi sukses di dunia ini. TUHAN dan agama serta ajarannya baginya hanya berguna untuk mereka yang sudah mendekati garis finis kehidupannya karena untuk berusaha apapun mereka itu sudah tidak mampu lagi.
Nah, dengan cara berpikir ekstrim seperti itu apakah masih ada tempat untuk iman? Kalaupun ada imannya, maka iman itu selalu terbelah. Terbelah karena suatu saat harus fokus pada TUHAN tetapi pada lain waktu harus fokus pada Mamon.
Ini kontradiktif. Mana bisa fokus kepada dua sasaran sekaligus. Kalau masing-masing kaki dijejakkan pada dua perahu yang berbeda, maka kalau perahu itu melaju yang terjadi orang itu justru kecebur ke dalam laut.
Kebanyakan waktunya justru akan fokus pada kegiatan usaha yang dikuasai oleh Mamon. Biji yang terbelah tidak mungkin akan tumbuh. Iman yang terbelah [tidak utuh] masih mungkinkah untuk bertumbuh?
Bila seseorang memiliki iman yang terbelah dan tidak bisa tumbuh, apakah dapat dikatakan ia masih memiliki iman? Entahlah, saya tidak mampu menjawabnya karena saya sendiri sibuk bertanya-tanya, sebenarnya saya sendiri ini punya iman atau tidak sih?
♡ ◦°˚G☺d♡BlĪµ§§ U◦°˚♡
"If ever there is tomorrow when we're not together.. there is something you must always remember. you are braver than you believe, stronger than you seem, and smarter than you think. but the most important thing is, even if we're apart.. i'll always be with you." - Winnie the Pooh-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar