Saya sudah terlalu tua untuk mengingat masa Depresi Besar yang terjadi pada tahun 30-an. Selama beberapa tahun keluarga kami tidak memiliki mobil, saluran ledeng, ataupun listrik. Namun kami memiliki sebuah rumah, sebuah mata air di dekat situ, kamar mandi di luar rumah, kayu bakar, pakaian, dan makanan yang cukup. Miskinkah kami? Tidak, menurut standar waktu itu.
Namun untuk standar waktu sekarang kami pasti dianggap miskin dengan keadaan seperti itu. Berapa banyak uang yang harus dimiliki seseorang agar dianggap kaya? Dan berapa banyak uang yang harus diberikan seseorang agar dianggap dermawan?
Sangat sulit menjawabnya, bukan? Sebenarnya, tidak ada jawaban yang tepat untuk kedua pertanyaan itu. Rasul Paulus tidak membuat peraturan tentang seberapa besar seseorang harus memberi, dan juga tidak mengatakan bahwa hanya orang kaya yang harus memberi. Sebaliknya, ia menantang jemaat di Korintus dengan menceritakan kepada mereka tentang orang-orang percaya di Makedonia yang "sangat miskin" namun memberi "melampaui kemampuan mereka," yakni "memberikan diri mereka, pertama-tama kepada Allah" (2 Korintus 8:2-5).
Ia mengingatkan para pembaca suratnya akan Juruselamat mereka, Tuhan Yesus, yang mampu mengubah kemiskinan duniawi menjadi kekayaan surgawi supaya mereka menjadi kaya dalam kehidupan yang kekal. Lepas dari apakah kita merasa diri miskin atau kaya, kasih kita kepada Tuhan seharusnya menjadi alasan bagi kita untuk bersikap murah hati dalam hal memberi.
Sumber : Rumah Renungan
♡ ◦°˚G☺d♡BlĪµ§§ U◦°˚♡
"If ever there is tomorrow when we're not together.. there is something you must always remember. you are braver than you believe, stronger than you seem, and smarter than you think. but the most important thing is, even if we're apart.. i'll always be with you." - Winnie the Pooh-
Jumat, 13 Mei 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar